Magelang, hmm magelang adalah suatu kota yang asing bagiku, walaupun waktu kecil dulu sudah pernah mengunjungi tempat wisata Borobudur yang hanya 15 menit dari kota Magelang, tapi sepengetahuanku saat itu Borobudur terletak di Yogyakarta.
Lulusan sekolah dasar di Jakarta yang selalu ngekor orang tua kemana saja mereka di tugaskan oleh Pemerintah. Papaku bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sehingga sesuai dengan SK yang dikeluarkan oleh Departemen, kami sekeluarga harus berpindah-pindah. Terakhir kami ada di kota yang terkenal dengan makanan pempeknya.
Juni 1991 aku mulai bersekolah di sebuah SMP Negeri 7 dimana Kurniawan pesepakbola tanah air kita pernah bersekolah. Guruku selalu membanggakan hal itu, yah mungkin untuk menaikkan rating sekolah kami yang selalu nomor 3 setelah SMP 1 dan 2 dalam hal prestasi. Tapi aku bangga bersekolah di SMP yang selalu nomor satu untuk paduan suaranya.
Di sebuah ruangan kelas yang penuh dengan gambar para pahlawan nasional dan sebuah peta Indonesia berukuran A0, aku duduk di bangku baris kedua dari depan. Di kelas aku suka menggambar sketsa – sketsa picisan rumah tinggalku, aku senang dengan Arsitektur. Sampai tak kusadari ada seorang perempuan dengan rambut lurus panjang sebatas pinggang menyapaku.
"Hai nama kamu siapa?," dia menanyakan namaku penuh lembut tapi jelas sekali intonasinya, seperti merdunya suara Celine Dion. Hatiku beku keras bagaikan sepotong daging sapi dalam freezer, aku seperti naik jetcoaster turun naik tak ada hentinya. "eh…iyal,namaku iyal," jawabku dengan keringat dingin telah membasahi muka dan telapak tanganku. "Aku Meiria," balasnya sambil mengajakku pergi. "Yuk temani aku ke kantin," dengan santainya ia mengajakku.
"sepertinya kamu bukan orang Jawa , darimana ya?," sahutnya sambil berjalan kearah kantin sekolah, aku seperti sapi yang dicocok hidungnya mengikuti kemana saja. "hm..Jakarta aku dari Jakarta, kamu darimana?," jawabku, ya ampun aku seperti mengerjakan tugas kuliah yang akan dikumpulkan esok hari,aku hanya copy and paste pertanyaannya lalu sedikit dimodifikasi. Dan itu berlangsung sampai kami masuk kelas kembali.
Meiria, hmm mendengar namanya bagiku seperti pendongeng yang sedang bercerita tentang negeri khayalan yang indah yang hanya dihuni oleh orang-orang baik saja, ah andai saja Negara kita seperti dalam dongeng. "Pulang nanti kamu mau ikut belajar kelompok ngga?," sahutnya sembari menungguku membereskan buku,"iya boleh…eh Mei nanti yang datang cewek semua ya, ada cowoknya ngga?," tanyaku basa-basi walaupun memang tak kuharapkan kehadiran sesama jenisku, egois sekali. "oh kamu aja kok…tadinya Hendi mau ikut tapi ga jadi," jelasnya sembari melempar senyum misterius, kalau waktu itu sudah ada internet membuatku ingin mengetik nama Meiria di mesin pencari google atau facebook tentang apa kesukaannya, musik yang disenanginya, pokoknya yang berhubungan dengan Meiria semua ada. Oh Mei… .
Mei tidak hanya menjadi teman bagiku tetapi Mei adalah mentor kehidupanku, ia mengajari banyak hal dari berbicara bahasa Jawa sampai metode tepat untuk menjadi pebisnis handal. Mei juga mengerti tanaman yang bisa digunakan sebagai obat, tinggal sebut saja penyakitnya maka ia langsung menulis jenis tanaman apa saja yang kita butuhkan, sudah seperti dokter menulis resep untuk pasiennya.
Kami selalu bertukar pikiran tentang segala hal, tetapi kalau sudah sampai ke bagian musik, Mei mendengarkanku seakan aku ini siaran berita radio pada jaman perang yang sangat sayang untuk dilewatkan. Aku memang tidak begitu berprestasi dalam hal pelajaran terutama biologi, tetapi dalam hal musik, pada saat itu akulah Master-nya, sebenarnya aku tidak sendirian dalam hal ahli musik, Ada Akhmad juga sahabatku di dunia lainku.
Sudah belasan bahkan puluhan kaset yang aku persembahkan untuknya, yang pada waktu itu di toko-toko kaset bermunculan kaset – kaset kompilasi dari penyanyi terkenal seperti Hitbank one dan seterusnya. Tapi aku tak mau kalah aku juga membuat versi-ku sendiri dengan nama Rainbow One dan seterusnya. Aku melihat berbagai macam warna hangat yang coba di tampilkan sebuah pelangi, semua warna pada pelangi membuat retina mataku merefleksi sinar yang dipancarkan sehingga membekas, terpatri dalam hatiku walaupun pelangi yang indah itu akan digulung oleh malam yang dingin. Seperti itulah Mei dimataku.
Selalu hadir pertanyaan dalam hatiku setiap aku tidak bertemu dengannya, pertanyaan yang selalu mengusikku. Apakah ini yang namanya jatuh cinta? Apakah Mei juga mempunyai perasaan hati yang sama? Ya Allah aku sungguh telah dibutakan oleh cinta. Perasaanku mengatakan ini cinta pertamaku, seakan ini juga cinta terakhirku. Aku tidak pandai dalam hal romeo dan juliet, kami bisa melebur bersama karena pertemanan.
"Cepat atau lambat, kamu harus terang sama Mei, katakan terus terang, kamu kan ngga mau kalau Mei diambil orang," Akhmad memberi saran padaku seperti seorang Ayah sedang memberi wejangan pada anaknya. "Asal kamu tau Yal, perempuan itu selalu menunggu kita para arjuna untuk lebih agresif and so what are you waiting for? Do it man," seru Akhmad berkoar – koar seperti pidato Presiden RI pertama kita Bung Karno. Lebih dari satu jam Akhmad memberikan ceramahnya.
Mungkin mulut Akhmad sudah berbusa untuk menceramahiku tentang masalah Mei, tapi aku tak bergeming sedikitpun dan pertanyaan itu makin sering muncul di pikiranku bahkan pada saat bersama Mei, frekuensinya semakin tidak terbendung. Tapi aku tetap diam seperti patung Tentara Pelajar yang ada didepan rumahku waktu itu.
Dua setengah tahun telah berlalu, bagiku aku dan Mei seperti sepasang kekasih yang langgeng, mungkin karena aku sering terhanyut dalam lagu white Lion…till death do us part…walaupun kenyataannya kami tetap berteman biasa, mungin karena kami masih SMP dan di daerah seperti Kota Magelang ini drama percintaan di usia dini masih dianggap topik paling hangat seputar sekolah, lain halnya kota besar seperti Jakarta. Diluar jam sekolah kami tidak melakukan komunikasi, sepertinya kami mempunyai dunia lain sendiri-sendiri. Mei tidak pernah mencurahkan isi hatinya padaku, keluh kesah tidak tampak dalam dirinya. Dia seperti wanita karir yang sukses dalam sebuah perusahaan, yang tampak hanya kelelahan fisik karena melakukan berbagai aktifitas. Hingga suatu saat… .
Hari itu Mei tidak masuk sekolah, tidak seperti biasanya Mei Sakit terlalu lama, sudah sembilan hari sekolah ini tampak seperti gurun pasir yang tersapu oleh angin kencang, hanya debu yang terlihat. Mei hanya fatamorgana bagiku, hatiku hilang separuh terbawa senyuman Mei yang selalu menghiasi hariku di sekolah. Teringat kata-katanya, Mei bilang padaku, "yal suatu saat nanti aku mau jadi seorang perawat," dengan senang hati Mei mengatakannya, dalam hatiku aku berpikir Mei yang mempunyai pemikiran luas hanya ingin menjadi seorang perawat, dimana dalam dunia medis peran perawat sering dianggap warga kelas dua, kelas satu ada di tangan para dokter. Perawat bagaikan garda depan dalam sebuah perang.
"Aku senang bisa membantu orang yang sedang sakit," ia melanjutkan. Aku terhenyak mendengar Mei mengatakan itu, karena teman-teman yang lain termasuk aku menginginkan cita – cita yang setinggi langit, seperti ingin jadi pilot, dokter, ahli ekonomi, bahkan Presiden. Tapi sosok Mei membuatku semakin jatuh cinta karena cita – citanya yang tulus. Bahwa cita – cita harus didasarkan atas panggilan jiwa yang suci. Dan Mei memiliki jiwa suci itu. Oh Mei aku semakin jatuh cinta… .
Kata guruku Mei sedang mengantar ibunya yang sakit parah ke rumah sakit yang lebih besar dan lengkap, bisa di Semarang, Surabaya bahkan mungkin Jakarta. Aku semakin bertanya-tanya dalam hatiku, apakah Mei masih bisa tersenyum denganku lagi ?
Sabtu siang, aku sudah berada di rumah dan seperti biasa, keluargaku suka jalan – jalan keluar kota di akhir pekan. Yogyakarta adalah tujuan kami untuk berlibur, kota yang nantinya merubah diriku hingga saat ini. Liburan kali ini tak seindah liburan sebelumnya, pikiranku tetap pada Mei, bayang – bayang Mei seakan tidak memberiku ruang untuk bergerak. Aku hanya ingin mengetahui dia dimana, apa kabarnya dan tentu saja apa yang dipikirkannya tentang diriku.
" Dengan Iyal," Pak Pos memberikan sebuah surat padaku sesampainya dirumah. Aku baru pulang sekolah, di belakang surat hanya tertera – Your Princess -. Dengan cepat kubuka surat itu, begitu kubaca aku tak tahu ingin tersenyum atau ingin marah, 2 bulan sudah Mei tak sekolah. Ya surat itu dari Mei, dia berada di Singapura.
Assalamualaikum iyal,
Mei sekarang di Singapur, maaf Mei baru bisa kasih kabar sekarang, Mei tahu kamu pasti bingung nyari Mei , maaf ya yal. Ibu Mei sakit kanker rahim dan pakde Mei menyarankan kami untuk berobat di singapur karena ada teman pakde yang bekerja di rumah sakit disini. Thanks for all iyal, you’ve been so nice to me, I’ll never forget you. Aku ngga tahu harus bilang apa sama kamu. Yal maafin Mei udah ngorbanin persahabatan kita untuk sesuatu yang Mei ngga bisa terima, tapi demi ibu, Mei mau melakukan apa saja, demi ibu. Mei tidak pulang lagi ke Magelang, Mei sekarang pindah sekolah ke Singapura.. Yal lahirku sudah milik orang lain, tapi hati ini tetap milik iyal my prince. Yal hiduplah dengan jiwaku, semoga kita bertemu di lain waktu di suasana yang berbeda, Mei akan merindukan iyal setiap saat. Salam buat Akhmad dan teman – teman.
- Your Princess -
No comments:
Post a Comment